Regalia News — Penangkapan terhadap pelaku penghasutan oleh Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Metro Jaya mendapat sorotan publik. Namun, langkah hukum tersebut dinilai sah secara prosedural dan tidak bisa dimaknai sebagai bentuk ancaman terhadap kebebasan sipil.
Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Dr. Alpi Sahari, SH., M.Hum, menegaskan bahwa tindakan kepolisian telah sesuai dengan koridor hukum positif Indonesia serta ditujukan untuk melindungi kepentingan umum, termasuk anak sebagai korban.pada, 6 /09/ 2025.
Penangkapan ini tidak bisa dianggap sebagai pengkambinghitaman atau pelanggaran due process of law. Justru sebaliknya.
“Ini bagian dari upaya melindungi kepentingan umum dan menjamin hak-hak anak sebagaimana dijamin undang-undang,” ujar Dr. Alpi, yang pernah diminta Kejaksaan Agung RI menjadi ahli di Mahkamah Agung dalam kasus Peninjauan Kembali terpidana Jesicca Wongso.
Ia menjelaskan, tindakan paksa seperti penangkapan hanya dapat dilakukan jika memenuhi unsur hukum pidana, yakni asas nullum delictum nulla poena sine lege.
Serta berlandaskan pada crime control model. Penegakan hukum, lanjutnya, harus dipahami sebagai bentuk kontrol terhadap kejahatan, bukan ancaman terhadap kebebasan sipil.
Jika ada narasi yang menyebut ini kriminalisasi atau upaya membungkam kebebasan berpendapat, itu terlalu dini dan berpotensi menyesatkan publik.
“Mekanisme pengawasan hukum pidana sudah diatur undang-undang. Narasi semacam itu justru bisa mendegradasi institusi penegak hukum,” tegasnya.
Dalam kasus ini, penyidik menerapkan sejumlah pasal, antara lain Pasal 160 KUHP; Pasal 87 jo. Pasal 76H jo. Pasal 15 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak; serta Pasal 45A ayat (3) jo. Pasal 28 ayat (3) UU ITE yang diperbarui melalui UU No. 1 Tahun 2024.
Penerapan pasal-pasal ini menunjukkan adanya dugaan eendaadse samenloop maupun meerdadse samenloop, yang membedakan antara satu rangkaian perbuatan dengan beberapa perbuatan terpisah.
Lebih jauh, Dr. Alpi menekankan bahwa penghasutan (opruien) memiliki makna hukum spesifik dan tidak bisa disamakan dengan sekadar ajakan.
“Penghasutan memiliki intensi kuat untuk mendorong orang lain melakukan kejahatan. Tidak harus terjadi tindak pidana untuk menyatakan delik ini selesai, tetapi pasca putusan MK No. 7/PUU-VII/2009, harus dibuktikan adanya hubungan kausal antara perbuatan menghasut dan akibat yang timbul,” jelasnya.
Dengan demikian, menurutnya, langkah kepolisian dalam kasus ini bukan sekadar penegakan hukum, melainkan juga upaya melindungi masyarakat luas, khususnya kelompok rentan seperti anak-anak, dari dampak pidana yang ditimbulkan.
Sumber : Humas Polri