Hidup selalu berjalan di persimpangan antara keputusan dan pilihan. Keputusan sering dimaknai sebagai akhir, titik tegas yang tak memberi ruang untuk kembali. Sedangkan pilihan lebih lentur, ia membuka kesempatan untuk menimbang ulang, mempertanyakan diri, dan bahkan memperbaiki langkah.
Namun, ketika kita bicara tentang “bagaimana sebaiknya”, kita sebenarnya sedang berhadapan dengan keterbatasan. Sebab kata “baik” seringkali hanyalah kesepakatan sementara. Baik hari ini bisa menjadi keliru di esok hari, dan yang buruk di masa lalu bisa jadi berbuah kebaikan di kemudian hari.
Memilih yang “sebaiknya” berarti menyisihkan sesuatu yang lain. Dalam setiap pertimbangan selalu ada yang dipinggirkan, selalu ada yang tertinggal. Itulah harga dari sebuah pilihan: ia menuntut keberanian untuk menerima apa yang hilang, dan kebijaksanaan untuk merawat apa yang tinggal.
Karena itu, hidup bukan hanya tentang “memutuskan” apa yang benar atau salah. Lebih dalam dari itu, hidup adalah tentang merawat pilihan yang sudah kita ambil dengan penuh kesadaran. Hidup panjang bukan hanya soal usia, melainkan tentang memilih jalan yang membawa makna dan keberlanjutan.
Sebaliknya, hidup bisa menjadi pendek jika kita terburu-buru, jika kita hanya berlari dari satu keputusan ke keputusan lain tanpa jeda untuk memahami. Pendek bukan berarti usia berhenti, tetapi makna yang tak pernah tumbuh. Maka pilihan yang baik adalah yang memperpanjang makna, bukan sekadar memperpanjang waktu.
Kebenaran adalah hal yang harus diucapkan, meski pahit rasanya. Tetapi kebenaran bukan untuk melukai, melainkan untuk menerangi. Bila kebenaran membuat hidup terasa getir, maka kita perlu belajar membedakan antara “menyampaikan kebenaran” dan “menyebarkan kepahitan.”
Karena kebenaran adalah milik semua orang, tapi kepahitan sebaiknya tidak diwariskan. Kata-kata yang benar seharusnya menjadi jembatan, bukan jurang. Seharusnya menjadi obor, bukan api yang membakar. Inilah seni hidup: bagaimana tetap jujur tanpa kehilangan kelembutan.
Pepatah lama selalu mengajarkan dengan perumpamaan sederhana. Ada yang harus ditangkap, ada yang harus dilepas. Ada yang mesti dipertahankan, ada yang mesti direlakan. Hidup bukan soal memiliki segalanya, melainkan memahami apa yang sungguh memberi arti.
Bukan untuk menggurui, bukan pula permainan akal-akalan. Tetapi justru karena rasa yang bergetar, akal pun bertanya. Pertanyaan inilah yang menuntun kita memahami makna, bahwa perjalanan hidup bukan tentang siapa yang paling benar, melainkan siapa yang paling bijak dalam menjaga arah.
Pada akhirnya, hidup adalah rangkaian pilihan yang terus kita buat. Pilihan yang memahat diri, membentuk wajah, dan menorehkan jejak. Dan di antara semua itu, kebijaksanaan hadir bukan karena kita selalu benar, melainkan karena kita belajar dari salah, dan tidak berhenti mencari “bagaimana sebaiknya” tanpa kehilangan rasa kemanusiaan.
Penulis : Abdullah Mustafa