Regalia News — Dalam upaya memperbaiki kualitas layanan publik sekaligus memperkuat integritas birokrasi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meluncurkan terobosan baru berupa Peta Kerawanan Praktik Gratifikasi. Peluncuran ini digelar di Gedung Anti-Corruption Learning Center (ACLC) KPK, Jakarta, Selasa (17/12).
Peta tersebut bukan sekadar dokumen teknis, melainkan instrumen strategis untuk membaca pola risiko, memprediksi kerentanan, serta mengungkap sektor-sektor pelayanan publik yang selama ini menjadi lahan subur praktik gratifikasi dan korupsi.
Direktur Gratifikasi dan Pelayanan Publik KPK, Arif Waluyo Widiarto, menyampaikan bahwa rendahnya pemahaman penyelenggara negara masih membuat praktik gratifikasi kerap dianggap sebagai hal yang wajar.
“Pencegahan gratifikasi bagi pegawai negeri dan penyelenggara negara menjadi prioritas utama. Suap dan gratifikasi masih marak dan menjadi jenis perkara tertinggi yang ditangani KPK hingga saat ini,” ujar Arif dalam sambutannya.
Menurutnya, pencegahan gratifikasi tidak bisa dipandang sebagai sekadar kewajiban administratif. Lebih dari itu, langkah ini merupakan strategi jangka panjang untuk membangun budaya integritas dan transparansi di lingkungan birokrasi.
Oleh karena itu, KPK terus memperkuat sistem pelaporan gratifikasi, memetakan kerawanan pada sektor layanan publik, serta mendorong koordinasi lintas sektor guna meminimalkan risiko dan memastikan tindak lanjut yang efektif.
Data KPK mencatat, sejak 2005 sebanyak 62 persen perkara korupsi yang ditangani merupakan kasus suap dan gratifikasi. Bahkan, sebagian di antaranya berkembang menjadi tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Tekanan praktik ini semakin nyata. Pada periode 2020 hingga November 2025, KPK menerima 20.236 laporan gratifikasi dengan total nilai mencapai Rp104,02 miliar.
Dari jumlah tersebut, 7.490 laporan ditetapkan sebagai barang milik negara dan menghasilkan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp23 miliar.
“Angka-angka ini bukan sekadar statistik, tetapi menunjukkan urgensi perbaikan tata kelola yang tidak bisa ditunda,” tegas Arif.
Ia menambahkan, maraknya praktik gratifikasi tidak hanya melemahkan integritas birokrasi, tetapi juga berdampak langsung pada menurunnya kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah.
Sebagai dasar kebijakan, Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) telah menetapkan penyusunan Peta Kerawanan Praktik Gratifikasi sebagai Program Prioritas Nasional Tahun 2025.
Mandat ini sekaligus memperkuat peran Direktorat Gratifikasi dan Pelayanan Publik (DGPP) KPK dalam mengelola pelaporan dan pemetaan kerawanan gratifikasi.
Peta kerawanan tersebut disusun melalui dua pendekatan. Pertama, pendekatan kualitatif dengan membedah proses bisnis pada sektor-sektor strategis.
Seperti kehutanan, pertambangan, perkebunan, ketenagalistrikan, manajemen sumber daya manusia (SDM), perdagangan, pengadaan barang dan jasa (PBJ), hingga perbankan.
Kedua, pendekatan kuantitatif dengan mengolah berbagai instrumen data, antara lain Survei Penilaian Integritas (SPI) Gratifikasi, Monitoring Controlling Surveillance for Prevention (MCSP), indeks Reformasi Birokrasi (RB), Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP), laporan gratifikasi, analisis fraud PBJ, pengaduan masyarakat, SPDP, serta profil instansi.
Hasil pemetaan ini nantinya akan mengelompokkan instansi pemerintah ke dalam cluster kerawanan, berdasarkan perhitungan risiko, peluang, dan kejadian faktual di lapangan. Dengan demikian, perbaikan tata kelola tidak lagi berbasis asumsi, melainkan berlandaskan data.
Sebagai bentuk akuntabilitas publik, hasil pemetaan tersebut juga akan diintegrasikan ke platform JAGA.id, sehingga masyarakat dapat mengakses informasi, memantau kinerja instansi, serta ikut mengawasi perbaikan layanan publik.
Untuk mewujudkan langkah tersebut, KPK menekankan pentingnya kolaborasi lintas kementerian dan lembaga. Sejumlah instansi diundang.
Antara lain Kementerian Perdagangan, Kementerian ESDM, Kementerian Pertanian, Kementerian Kehutanan, Kementerian ATR/BPN, Bappenas, Kementerian PANRB, Kementerian Lingkungan Hidup, serta Badan Kepegawaian Negara (BKN).
“Meskipun demikian, kami menyadari masih terdapat keterbatasan dalam perolehan data, sehingga peta ini masih memerlukan kajian mendalam dan penyempurnaan ke depan,” pungkas Arif.
Melalui Peta Kerawanan Praktik Gratifikasi, KPK berharap pelayanan publik benar-benar diberikan sebagai hak warga negara, bukan ditentukan oleh besaran amplop atau fasilitas “di bawah meja”.
Peta ini diharapkan menjadi kompas reformasi birokrasi yang sesungguhnya, di mana integritas menjadi standar minimum, bukan lagi pilihan sulit bagi para abdi negara.
Sumber : Humas KPK RI