Regalia News – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengingatkan bahwa bentuk tindak pidana korupsi kini semakin kompleks dan canggih. Praktik korupsi bahkan kerap menyamarkan diri di balik proses kebijakan yang secara formal terlihat sah dan legal.
Peringatan tersebut disampaikan Wakil Ketua KPK, Agus Joko Pramono, dalam kegiatan Sosialisasi Antikorupsi di Kementerian Koordinator Bidang Pangan, Jakarta, Selasa (16/12).
Dalam kesempatan itu, Agus menyoroti fenomena state captured corruption sebagai tantangan terbesar dalam upaya pencegahan korupsi saat ini.
Menurut Agus, modus state captured corruption melibatkan sekelompok pihak berpengaruh di luar pengambil keputusan formal, namun mampu menyusupkan kepentingan mereka ke dalam proses kebijakan. Praktik ini kerap terjadi pada penetapan syarat tender, lelang, maupun pengadaan barang dan jasa.
“Contoh sederhananya, syarat ikut tender atau lelang diubah bukan karena kebutuhan objektif, melainkan karena dipesan pihak tertentu yang ingin memenangkan proses tersebut,” ujar Agus.
Ia menjelaskan, praktik semacam ini membuat batas antara korupsi dan bukan korupsi menjadi kabur. Kebijakan yang secara administratif tampak sah, sejatinya telah dimanipulasi sejak awal untuk menguntungkan pihak tertentu.
Lebih lanjut, Agus menekankan bahwa korupsi di sektor pangan memiliki dampak yang sangat krusial karena berkaitan langsung dengan hajat hidup orang banyak.
Oleh sebab itu, KPK berkomitmen untuk terlibat aktif dalam proses mitigasi dan pengawasan agar potensi penyimpangan dapat dicegah sejak dini.
Terkait strategi pencegahan, Agus menegaskan bahwa upaya antikorupsi sejatinya tidak rumit, asalkan KPK memiliki akses keterbukaan informasi yang memadai dari kementerian dan lembaga terkait.
“Sebenarnya pencegahan itu tidak sulit. Yang dibutuhkan hanya tiga hal, yakni accessibility, authority, dan facility. Dengan itu, kami bisa memitigasi, melihat, mencegah, dan memonitor,” katanya.
Dengan akses penuh terhadap data dan informasi, KPK dinilai dapat mengawasi proses pengambilan keputusan secara transparan dan berada selangkah di depan sebelum praktik korupsi terjadi.
Dalam kesempatan tersebut, KPK juga mengapresiasi capaian Kemenko Pangan yang mencatat nilai Survei Penilaian Integritas (SPI) 2025 sebesar 7,8 poin, berada di atas rata-rata nasional. Meski demikian, Agus mengingatkan agar capaian tersebut tidak membuat lengah.
“Integritas birokrasi justru diuji di ruang-ruang privat, seperti di balik meja rapat atau dalam komunikasi informal. Kalau ingin SPI membaik, yang diperbaiki adalah lembaganya, bukan jawabannya,” tegasnya.
KPK menegaskan, SPI harus dimaknai sebagai instrumen kendali manajemen untuk memperbaiki tata kelola dan budaya organisasi, bukan sekadar formalitas pengisian survei. Sebab, integritas sejati, menurut KPK, diuji justru di ruang-ruang yang minim pengawasan publik.
Sumber : Humas KPK RI