Regalia News – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengingatkan bahwa korupsi di sektor kesehatan merupakan kejahatan yang menghancurkan fondasi pelayanan publik paling mendasar, yaitu hak warga negara untuk hidup sehat.
Penyalahgunaan anggaran kesehatan tidak hanya menimbulkan kerugian finansial, tetapi juga mengancam keselamatan serta akses masyarakat terhadap pelayanan yang layak.
“Korupsi di sektor kesehatan turut menguras sumber daya yang seharusnya melindungi hak masyarakat,” ujar Wakil Ketua KPK Ibnu Basuki Widodo dalam webinar “Tata Kelola dan Integritas di Sektor Kesehatan: Menjembatani Teori, Kebijakan, dan Praktik”, Selasa (2/12).
Menurut Ibnu, praktik korupsi di sektor kesehatan terbukti bersifat sistemik secara global. Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan sekitar 7–10 persen dari seluruh pengeluaran kesehatan dunia—setara dengan 500 miliar dolar AS—hilang akibat korupsi dan inefisiensi.
Di Indonesia, situasinya tidak kalah mengkhawatirkan. Dalam satu dekade terakhir, KPK telah menangani 62 perkara korupsi di sektor kesehatan dengan total kerugian lebih dari Rp821 miliar.
Pada periode yang sama, aparat penegak hukum lainnya menangani lebih dari 220 kasus, dengan estimasi kerugian negara mencapai lebih dari Rp3,6 triliun.
“Pola risikonya tidak tunggal. Korupsi bisa terjadi pada pengadaan alat kesehatan, distribusi obat, manipulasi klaim layanan, hingga gratifikasi pelayanan,” tegas Ibnu.
Ia menambahkan, sektor kesehatan menjadi rawan karena melibatkan belanja publik yang besar, kompleksitas teknis, dan banyaknya titik rentan, mulai dari perizinan fasilitas kesehatan hingga pengelolaan program kesehatan daerah.
Berbagai kasus besar—mulai dari pengadaan alat kesehatan COVID-19, mark-up harga obat, manipulasi klaim BPJS, hingga korupsi pembangunan rumah sakit dan puskesmas—mencerminkan luasnya dampak korupsi ini.
Inspektur Investigasi Itjen Kemenkes, Sardi, mengungkap temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) 2024, bahwa praktik sponsorship senilai Rp43,78 miliar kerap dialihkan ke rekening pribadi.
Menurutnya, kondisi itu menunjukkan korupsi telah menghambat akses pelayanan kesehatan dasar dan harus segera dibenahi.
“Kami mengkaji sektor kesehatan untuk memetakan titik rawan, memonitor pengadaan barang dan jasa dari hulu ke hilir, serta bekerja sama dengan Kemenkes dalam memperbaiki tata kelola,” jelasnya.
Ia menambahkan, Kemenkes terus memperkuat integritas internal melalui mekanisme pencegahan seperti Whistleblowing System (WBS) dan berkolaborasi dengan KPK dalam pemetaan risiko korupsi.
Kandidat Ph.D. School of Sciences, University of New South Wales, Raisa Annisa, menyebut sektor kesehatan selalu berada dalam lima besar sektor paling rentan korupsi secara global.
Menurutnya, penyimpangan terjadi mulai dari pemanfaatan teknologi hingga layanan jaminan kesehatan.
“Uang yang hilang sangat besar dan ruang penyimpangan terbuka lebar, terutama saat kondisi darurat,” ujarnya.
Menjawab risiko tersebut, KPK mendorong pendekatan “trisula”: pendidikan, pencegahan, dan penindakan. Pendekatan itu dipadukan dengan fokus jangka panjang pada sektor pendidikan, karena membangun integritas lintas sektor harus dimulai sejak bangku sekolah.
Hingga saat ini, tercatat 88,75 persen kampus di Indonesia atau 3.496 dari 3.939 kampus—telah mengintegrasikan nilai antikorupsi dalam kurikulum.
Sebanyak 38 Politeknik Kesehatan (Poltekkes) juga mengembangkan program pendidikan antikorupsi secara mandiri.
KPK menegaskan pentingnya mencetak tenaga kesehatan yang tidak hanya kompeten secara klinis, tetapi juga bermoral dan berintegritas.
Mahasiswa kesehatan dinilai sebagai calon pemimpin di masa depan, dokter, perawat, apoteker, maupun pengelola fasilitas kesehatan, sehingga nilai antikorupsi harus menjadi budaya pembelajara, bukan sekadar materi kuliah.
Selain pendidikan, KPK mengajak akademisi dan peneliti terlibat dalam pemetaan risiko serta pengembangan solusi tata kelola kesehatan.
Riset independen dinilai mampu menutup celah korupsi, mengidentifikasi potensi penyimpangan pengadaan, serta memberi rekomendasi kebijakan yang implementatif.
Dengan kolaborasi, pendampingan, dan pembenahan tata kelola yang konsisten, Indonesia diharapkan mampu membangun sistem kesehatan yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan.
Serta memastikan setiap rupiah anggaran kembali ke tujuan utama: peningkatan kualitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat.
Sumber : Humas KPK RI