Regalia News – Rekrutmen Perwira Prajurit Karier Tentara Nasional Indonesia (Pa PK TNI) yang akan ditutup pada 25 Oktober 2025 patut diapresiasi sebagai langkah progresif dan visioner. Pembukaan kesempatan berkarier di level perwira, terutama bagi lulusan bidang pangan, menunjukkan keseriusan negara dalam menarik figur pemimpin muda berpendidikan tinggi yang akan memastikan masa depan ketahanan pangan nasional.
Kebijakan ini merefleksikan pergeseran paradigma rekrutmen militer modern — dari sekadar kekuatan fisik menjadi perpaduan antara intelektualitas, kepemimpinan, dan kompetensi teknis. Lulusan dengan 144 SKS atau lebih tentu telah mengantongi kapasitas manajerial yang mumpuni serta pola pikir ilmiah yang strategis untuk mendukung tugas-tugas pertahanan dan pembangunan nasional.
Namun, di balik niat baik tersebut, muncul satu hambatan administratif yang berpotensi menutup jalan bagi banyak talenta potensial bangsa: persyaratan akreditasi minimal “B” atau “Baik Sekali.” Di atas kertas, kebijakan ini tampak logis sebagai filter kualitas. Namun dalam praktiknya, ia justru dapat menjadi jurang pembatas yang menyingkirkan anak-anak muda berprestasi dari kampus yang kebetulan belum memperoleh akreditasi tinggi — padahal mereka memiliki kapasitas dan dedikasi luar biasa.
Akreditasi Bukan Cermin Utuh Kualitas Individu
Data dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) menunjukkan, distribusi akreditasi di Indonesia masih timpang antarwilayah. Banyak kampus di luar Pulau Jawa belum memperoleh akreditasi unggul bukan karena rendah mutu, tetapi karena keterbatasan sumber daya, geografis, dan administratif.
Faktanya, banyak mahasiswa dari daerah terpencil hanya memiliki akses ke satu-satunya perguruan tinggi di wilayahnya. Sebagian lagi berasal dari keluarga pra-sejahtera yang tidak memiliki kemampuan finansial untuk kuliah di kampus berakreditasi tinggi atau meraih beasiswa di kota besar.
Mereka telah berjuang keras menempuh pendidikan tinggi di tengah keterbatasan. Maka, sungguh tidak adil jika negara—melalui instrumen akreditasi—malah menutup kesempatan mereka untuk mengabdi sebagai perwira TNI.
Negara seharusnya menjadi payung yang memberikan keadilan kesempatan, bukan memperkuat ketimpangan akibat faktor administratif. Persoalan akreditasi ini mendesak untuk dikaji ulang bersama, agar kebijakan pendidikan dan pertahanan tidak berjalan dalam ruang hampa koordinasi.
Miskoordinasi Regulasi dan Kebutuhan Penyesuaian
Persyaratan “akreditasi minimal B/baik sekali (saat lulus)” mencerminkan adanya miskoordinasi antar-instrumen kebijakan nasional. Saat ini, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah menetapkan sistem baru penilaian akreditasi dengan status “Terakreditasi, Terakreditasi Unggul, atau Tidak Terakreditasi.”
Dengan demikian, penggunaan standar lama bukan hanya tidak relevan, tetapi juga berpotensi menimbulkan kebingungan administratif dan diskriminasi terselubung terhadap lulusan dari perguruan tinggi yang belum sempat menyesuaikan status akreditasinya.
Langkah korektif harus segera diambil agar kebijakan rekrutmen tetap selaras dengan dinamika regulasi pendidikan tinggi nasional. Pembaruan panduan rekrutmen harus disusun secara adaptif, berbasis regulasi terkini, dan menjamin prinsip inklusivitas.
Pentingnya Keadilan Informasi dan Pemerataan Akses
Selain soal akreditasi, isu lain yang tak kalah krusial adalah distribusi informasi rekrutmen. Tidak semua daerah memiliki akses internet dan infrastruktur informasi yang memadai. Akibatnya, informasi mengenai rekrutmen nasional seperti Pa PK TNI sering kali hanya beredar di kota besar atau lingkungan akademik tertentu.
Diperlukan sinergi aktif antara TNI, Kemendikbudristek, pemerintah daerah, serta institusi pendidikan agar proses rekrutmen berjalan transparan dan inklusif. Kehadiran “key figure” lokal seperti Babinsa, rektor, dan kepala dinas pendidikan dapat menjadi penghubung informasi yang memastikan setiap calon potensial—di mana pun mereka berada—memiliki kesempatan yang sama untuk berkompetisi.
Uji Kompetensi, Bukan Akreditasi
Mutu calon perwira tidak semestinya dinilai dari label akreditasi kampusnya. Akreditasi hanyalah indikator administratif lembaga, bukan cerminan kompetensi personal. Di era digital, akses ilmu pengetahuan terbuka luas—siapa pun dapat belajar, berinovasi, dan meningkatkan kemampuan tanpa batas institusi.
Maka, lebih tepat jika penilaian seleksi difokuskan pada uji kompetensi aktual, kemampuan kepemimpinan, daya analisis, serta semangat pengabdian kepada bangsa. Prinsip meritokrasi harus menjadi roh dalam setiap rekrutmen nasional, terlebih untuk institusi sebesar TNI yang mengemban amanat menjaga kedaulatan negara.
Menutup Jurang, Bukan Menambah Batas
Ketahanan pangan dan pertahanan negara adalah dua pilar vital yang membutuhkan sumber daya manusia terbaik tanpa terkecuali. Karena itu, negara harus membuka pintu selebar-lebarnya bagi putra-putri bangsa yang memiliki kompetensi dan semangat juang, bukan menutupnya hanya karena persoalan administrasi.
TNI, Kemendikbudristek, dan seluruh pemangku kepentingan perlu duduk bersama untuk meninjau ulang kebijakan akreditasi dalam sistem rekrutmen. Sudah saatnya Indonesia mengedepankan kompetensi, dedikasi, dan karakter, bukan sekadar status akreditasi kampus.
Jangan biarkan akreditasi menjadi tembok pemisah antara mereka yang berdedikasi dan kesempatan untuk mengabdi pada merah putih.
Oleh : Benny, Ketua Asosiasi Planters Muda Indonesia Sumatera Selatan
